Minggu, 11 Desember 2016

POLARIZABILITAS



Elektron pada suatu atom mengalami pergerakan dalam orbital. Pergerakan atau perpindahan elektron pada suatu atom dapat mengakibatkan tidak meratanya kepadatan elektron pada atom, sehingga atom tersebut mempunyai satu sisi dipol dengan muatan lebih negatif dibandingkan sisi yang lain. Pergerakan ini menimbulkan dipol sesaat. 
Gambar dibawah ini menggambarkan perbedaan sebaran elektron pada orbital normal dan orbital yang mengalami dipol sesaat. Adanya dipol sesaat menyebabkan molekul yang bersifat non-polar menjadi bersifat agak polar.



Dipol sesaat pada suatu atom dapat mengimbas atom yang berada di sekitarnya sehingga terjadilah dipol terimbas yang menyebabkan gaya tarik-menarik antara dipol sesaat dengan dipol terimbas. Gaya ini yang disebut sebagai Gaya London.



Pergerakan elektron yang mengakibatkan dipol sesaat dalam suatu molekul akan bertambah besar apabila molekul tersebut memiliki jumlah elektron yang semakin besar pula. Pergerakan elektron yang mengakibatkan dipol sesaat dalam suatu molekul disebut polarisabilitas. Jumlah elektron yang besar berkaitan dengan massa molekul relatif (Mr) molekul tersebut, sehingga semakin besar Mr suatu molekul, maka semakin besar polarisabilitasnya dan semakin besar pula Gaya Londonnya.

Polarisabilitas ini sangat erat kaitannya dengan gaya london karena gaya london terjadi karena adanya polarisabilitas. Maka itu bila ada dua hal yang mempengaruhi gaya london maka hal tersebut juga akan mempengaruhi polarisabilitas, yaitu sebagai berikut:
1.   Ukuran Molekul
Polarisabilitas sangat erat hubungannya dengan massa relatif molekul. Pada umumnya molekul dengan jumlah elektron yang besar akan lebih mudah mengalami polarisabilitas. Hal ini terjadi karenasemakin besar molekul  maka akan semakin besar pula jumlah elektron yang dimemilikinya sehingga Pergerakan elektron yang mengakibatkan dipol sesaat dalam suatu molekul akan bertambah besar.Itu artinya,semakin besar nomor massa molekul relatif, maka semakin kuat pula gaya London yang bekerja pada molekul itu. Dan Semakin luas suatu atom atau molekul,rata-rata elektron valensi semakin jauh dari inti. Elektron valensi tersebut akan bertahan lebih kuat dan semakin mudah dapat membentuk dipol sementara. Sehingga distribusi elektron akan lebih mudah terjadi disekeliling atom  atau molekul dan dapat berdistorsi yang menyebabkan polarisabilitas,dimana bila polarisabilitas yang terjadi besar maka gaya london yang terjadi akan kuat,begitu pula sebaliknya.

2.   Bentuk Molekul
Bentuk molekul juga berpengaruh pada besarnya gaya london.dimana antara molekul neopentana dan n-pentana dapat dilihat perbedaannya :
Pada suhu ruang ,neopentana (C5H12) berwujud gas, sementara n-pentana (C5H12) berwujud cair.Gaya london antara molekul n-pentana lebih kuat daripada molekul neopentana,artinya polarisabilitasnya n-pentana lebih besar dibanding neopentana.Bentuk silindris dari molekul n-pentana membuat dapat berkontak satu sama lain daripada bentuk sferis  (lengkung) dari molekul neopentana.

Molekul mempunyai sifat polarisabilitas berbeda-beda. Polarisabilitas sangat erat hubungannya dengan massa relatif molekul. Pada umumnya molekul dengan jumlah elektron yang besar akan lebih mudah mengalami polarisabilitas. Jika semakin besar nomor massa molekul relatif, maka semakin kuat pula gaya London yang bekerja pada molekul itu. Misal, dua molekul propana saling menarik dengan kuat dibandingkan dua molekul metana. Molekul dengan distribusi elektron besar lebih kuat saling menarik daripada molekul yang elektronnya kuat terikat. Misal molekul I2 akan saling tarik-menarik lebih kuat daripada molekul Fyang lebih kecil.

Dengan demikian titik didih Iakan lebih besar jika dibandingkan dengan titik didih F2. Molekul yang mempunyai bentuk molekul panjang lebih mudah mengalami polarisabilitas dibandingkan dengan molekul dengan bentuk simetris. Misal deretan hidrokarbon dengan rantai cabang akan mempunyai titik didih lebih rendah jika dibandingkan dengan hidrokarbon dengan rantai lurus. Normal butana mempunyai titik didih lebih tinggi dibandingkan isobutana yang memiliki rantai cabang.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.ilmukimia.org/2013/06/gaya-dispersi-london.html
https://sainsmini.blogspot.co.id/2015/11/penjelasan-tentang-gaya-antarmolekul.html

Minggu, 04 Desember 2016

GAYA VAN DER WAALS


Gaya Van Der Waals merupakan gaya tarik menarik listrik yang relatif lemah akibat kepolaran molekul yang permanen atau terinduksi (tidak permanen). Kepolaran permanen terjadi akibat kepolaran ikatan dalam molekulnya, sedangkan kepolaran tidak permanen terjadi akibat molekulnya terinduksi oleh partikel lain yang bermuatan sehingga molekul bersifat polar sesaat secara spontan. Gaya Van Der Waals dapat terjadi antara partikel yang sama atau berbeda. Karena Ikatan Van Der Waals muncul akibat adanya kepolaran, maka semakin kecil kepolaran molekulnya maka gaya Van Der Waalsnya juga akan makin kecil.
GAYA VAN DER WAALS dibagi berdasarkan jenis kepolaran partikelnya :
1. INTERAKSI ION – DIPOL (MOLEKUL POLAR)
Terjadi interaksi (berikatan) / tarik menarik antara ion dengan molekul polar (dipol).
Interaksi ini termasuk jenis interaksi yang relatif cukup kuat.
2. INTERAKSI DIPOL – DIPOL
Merupakan interaksi antara sesama molekul polar (dipol). Interaksi ini terjadi antara ekor dan kepala dari molekul itu sendiri. Berlawanan kutub saling tarik menarik dan jika kutubnya sama saling tolak – menolak. Partikel penginduksi dapat berupa ion atau dipol lain
3. INTERAKSI ION – DIPOL TERINDUKSI
Merupakan antar aksi ion dengan dipol terinduksi. Dipol terinduksi merupakan molekul netral, menjadi dipol akibat induksi partikel bermuatan yang berada didekatnya.  Kemampuan menginduksi ion lebih besar daripada dipol karena muatan ion >>> (lebih besar). Ikatan ini relatif lemah karena kepolaran molekul terinduksi relatif kecil dari dipol permanen.
4. INTERAKSI DIPOL – DIPOL TERINDUKSI
Molekul dipol dapat membuat molekul netrallain bersifat dipol terinduksi sehingga terjadi antar aksi dipol – dipol terinduksi.Ikatan ini cukup lemah sehingga prosesnya berlangsung lambat
5. ANTAR AKSI DIPOL TERINDUKSI – DIPOL TERINDUKSI (GAYA LONDON)
MEKANISME :
a. Pasangan elektron suatu molekul, baik yang bebas maupun yang terikat selalu bergerak mengelilingi inti.
b. Electron yang bergerak dapat mengimbas atau menginduksi sesaat pada tetangga sehingga molekul tetangga menjadi polar terinduksi sesaat.
c. Molekul ini pula dapat menginduksi molekul tetangga lainnya sehingga terbentuk molekul – molekul dipole sesaat.

Gaya London ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
-          Jumlah electron dalam atom atau molekul
Makin banyak electron yang dipunyai molekul makin besar gaya londonnya.
-          Bentuk molekul

Molekul yang memanjang/tidak bulat, lebih mudah menjadi dipole dibandingkan dengan molekul yang bulat sehingga gaya disperse londonnya akan semakin besar.  Ikatan Van der Waals juga ditemukan pada polymer dan plastik. Senyawa ini dibangun oleh satu rantai molekul yang memiliki atom karbon, berikatan secara kovalen dengan berbagai atom seperti hidrogen, oksigen, nitrogen, dan atom lainnya. Interaksi dari setiap untaian rantai merupakan ikatan Van der Waals. Hal ini diketahui dari pengamatan terhadap polietilen, polietilen memiliki pola yang sama dengan gas mulia, etilen berbentuk bentuk gas menjadi cairan dan mengkristal atau memadat sesuai dengan pertambahan jumlah atom atau rantai molekulnya. Dispersi muatan terjadi dari sebuah molekul etilen, C2H4, yang menyebabkan terjadinya dipol temporer serta terjadi interaksi Van der Waals. Dalam kasus ini molekul H2C=CH2, selanjutnya melepaskan satu pasangan elektronnya dan terjadi ikatan yang membentuk rantai panjang atau polietilen. Pembentukan rantai yang panjang dari molekul sederhana dikenal dengan istilah polimerisasi.

Gaya tarik antar molekul akibat tarikan dipol-dipol, dipol-dipol terinduksi dan antar dipol-terinduksi. Dipol: (1) permanen, (2) terinduksi (akibat induksi dipol “sesaat”). Contoh: CO2 (s) : tarikan dipol permanen antar molekul CO2 I2 (s) : tarikan antar dipol terinduksi.
Kekuatan Ikatan ditentukan oleh:
• Ukuran molekul ↑
• Perbedaan keelektronegatifan ↑
• Jenis dipol: permanen / terinduksi

Umumnya, pengaruh jari-jari (pengaruh induksi) lebih dominan dibandingkan pengaruh kepolaran. Khusus gaya tarik yang disebabkan oleh dipol terinduksi, sering dinamakan dengan gaya London.

Interaksi van der Waals teramati pada gas mulia, yang amat stabil dan cenderung tak berinteraksi. Hal ini menjelaskan sulitnya gas mulia untuk mengembun. Tetapi, makin besar ukuran atom gas mulia (makin banyak elektronnya) makin mudah gas tersebut berubah menjadi cairan.

DAFTAR PUSTAKA

Sabtu, 03 Desember 2016

TAUTOMERI


Suatu senyawa karbonil dengan suatu hidrogen alfa yang bersifat asam, dapat berada dalam dua bentuk yang disebut tautomer : suatu tautomer keto dan sebuah tautomer enol. Tautomer adalah isomer-isomer yang berbeda satu dengan yang lainnya hanya pada posisi ikatan rangkap dan sebuah atom hidrogen berhubungan. Tautomer keto suatu senyawa karbonil mempunyai struktur karbonil seperti diharapkan. Tautomer enol (dari –ena+-ol) yang merupakan suatu alcohol vinilik, terbentuk dengan serah-terima sebuah hidrogen asam dari karbon α ke oksigen karbonil. Karena atom hidrogen berada dalam posisi yang berlainan, kedua bentuk tautometrik ini bukanlah struktur-resonansi, melainkan dua struktur berlainan yang berada dalam kesetimbangan. (harus diingat bahwa struktur-struktur resonansi berbeda hanya dalam posisi elektron).
Di dalam kamus kimia SMA, tautomeri adalah perpindahan atom dalam satu molekul menjadi isomer. contohnya perubahan keto menjadi enol, amin menjadi imin.



Tautomerisme adalah kasus khusus dari isomersime struktur dan memainkan peran yang penting dalam pemasangan basa dalam molekul DNA dan RNA.

Tautomerisasi dikatalisasi oleh:
·         Basa (1. deprotonasi; 2. pemebntukan anion yang terdelokalisasi (misalnya enolat); 3. protonasipada posisi yeng berbeda pada anion).
·         asam (1. protonasi; 2. pembentukan kation yang terdelokalisasi; 3. deprotonasi pada sebelah posisi yang berbeda pada kation).
Pasangan tautomer yang umum adalah:
·         keton - enol, misalnya aseton (lihat: tautomerisme keto-enol).
·         amida - asam imidat, misalnya selama reaksi hidrolisis nitril.
·         laktam - laktim, sebuah tautomerisme amida-asam imidat pada cincin heterosiklik, misalnya pada nukleobasa guaninatimina, dan sitosina..
·         enamina - imina
·         enamina - enamina, misalnya selama reaksi enzim yang dikatalisasi oleh piridoksalfosfate.

Tautomeri terbagi 4:
Tautomerisme prototropik merujuk pada relokasi sebuah proton, seperti pada contoh di atas, dan dapat dianggap sebagai subbagian dari perilaku asam-basa. Tautomer prototropik adalah sekelompok keadaan protonasi isomerik dengan rumus empiris dan muatan total yang sama.
Tautomerisme annular adalah sejenis tautomerisme prototropik di mana sebuah proton dapat menduduki dua atau lebih posisi dalam sebuah sistem heterosiklik. Sebagai contoh, 1H- dan 3H- imidazola; 1H-, 2H-, dan 4H- 1,2,4-triazola; 1H- dan 2-H isoindola.
Tautomerisme rantai-cincin terjadi ketika perpindahan proton diikuti oleh perubahan struktur terbuka menjadi cincin, seperti pada bentuk aldehida dan piran glukosa.
Tautomerisme valensi adalah sejenis tautomerisme prototropik yang melibatkan proses reorganisasi ikatan elektron yang cepat. Contoh dari jenis tautomerisme ini dapat ditemukan pada bulvalena. Contoh lainnya adalah bentuk terbuka dan tertutup dari azida - tetrazola. Tautomerisme valensi memerlukan perubahan geometri molekul dan hal ini berbeda dengan struktur resonansi ataupun mesomer.
Tautomeri dapat mmempengaruhi kereaktifan suatu senyawa. Suatu pengecualian terhadap sifat keton yang tidak mudah teroksidasi, ialah oksidasi keton yang memiliki sekurang-kurangnya suatu hidrogen alfa. Suatu keton yang dapat menjalani tautomeri dapat dioksidasi oleh zat-pengoksidasi kuat pada ikatan rangkap karbon-karbon (dari) tautomer enolnya. Rendemen reaksi ini tidak digunakan untuk kerja sinetik, tetapi  sering digunakan dalam penuturan struktur.


DAFTAR PUSTAKA:

Alan R. Katritzky, A.R.; Elguero, J. et al. 1976. The Tautomerism of heterocycles. New York: Academic Press.

Smith, M. B.; March, J. 2001. Advanced Organic Chemistry, 5th ed. New York: Wiley Interscience. pp 1218-1223.